Jakarta, Infoindependen.com – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir tidak memaksakan kehendak dalam menargetkan dividen tinggi kepada BUMN, termasuk kepada PLN. Ia mengatakan, Menteri BUMN harus mengukur kemampuan BUMN tersebut dalam memberikan dividen kepada negara.
Sehingga, kata Legislator Dapil Banten III itu, tidak memaksakan kehendak dan sekedar tebar pesona dengan menargetkan dividen tinggi, bila ternyata membahayakan keberlangsungan BUMN. Termasuk kepada PLN yang saat ini diketahui sedang mengalami kesulitan keuangan.
“Menteri BUMN menargetkan total dividen yang dikontribusikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp80,2 triliun pada 2023, terbesar sepanjang sejarah. Dividen PLN sendiri ditargetkan sebesar Rp2,18 triliun. Menurut saya dividen tersebut terlalu besar dan seperti tebar pesona. Kita harus menyampaikan data keuntungan BUMN termasuk PLN tersebut secara lebih proporsional dan real,” ujar Mulyanto dalam siaran persnya kepada Parlementaria, Rabu (10/5/2023).
Politisi Fraksi PKS ini menambahkan, pemerintah jangan menyembunyikan fakta di balik angka Rp2,18 triliun yang menjadi target dividen PLN di tahun 2023 tersebut. Hal ini perlu diungkap agar publik tidak salah paham.
Dilanjutkannya, memang terjadi kenaikan laba bersih PLN di tahun 2022 yakni menjadi sebesar Rp14,4 triliun dari sebelumnya yang sebesar Rp13.17 triliun. Namun net profit margin PLN (laba bersih dibagi pendapatan) masih sekitar 3,3 persen. Jauh di bawah rata-rata net profit margin industri listrik tahun 2022, yang sebesar 7-10 persen.
“Selain itu, catatan penting lainnya adalah laba bersih tersebut muncul setelah Pemerintah membayar dana subsidi dan kompensasi listrik, yang pada tahun 2022 mencapai sebesar Rp122 triliun. Bila Pemerintah menunggak pembayaran, maka laba PLN tentu akan menjadi negatif,” tambahnya.
Menurutnya, yang juga tak penting untuk diungkap ke public adalah beban utang PLN masih tinggi, sekitar Rp500 triliun. Pada tahun 2022 bunganya saja mencapai sebesar Rp17 triliun. Ini tentu mengurangi kemampuan PLN untuk berinvestasi.
Di tahun 2022 Pemerintah menyuntikkan dana PMN untuk PLN sebesar Rp5 triliun, yang digunakan untuk menyediakan listrik di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal (3T). Tahun sebelumnya dana Penyertaan Modal Negara (PMN) ini mencapai Rp10 triliun.
Di sisi lain, surplus listrik di Jawa-Sumatera makin menekan keuangan PLN karena mereka harus membayar listrik yang tidak terpakai akibat skema TOP (take or pay) dalam perjanjian jual-beli listrik swasta.
“Ke depan di era Energi Baru Energi Terbarukan (EBET), dimana Pemerintah akan mengurangi pembangkit PLTU, termasuk program penutupan dini PLTU, juga makin menekan aspek keuangan PLN. Sebab kontribusi PLTU masih sekitar 70 persen sementara Biaya Pokok Produksi (BPP) PLTU masih jauh lebih murah dari pada listrik EBET. Dengan melihat gambaran makro kondisi PLN tersebut, kita faham bahwa bisnis PLN ini masih tertekan dan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah,” tegas Mulyanto.
Sumber: (parlemen/ayu/aha)