Bawaslu Tarakan Telusuri Dugaan Dokumen Palsu Caleg Partai Golkar

0
35

Tarakan, Infoindepeden.com – EH Calon Legislatif terpilih dari Partai Golkar Tarakan, Kalimantan Utara terpaksa berurusan dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Tarakan karena diduga melakukan tindak pidana pemilu terkait keterangan palsu dalam dokumen administrasi.

Pelapor Ardiansyah Mayo, S.E., melalui Tim kuasa hukum Abdullah, S.H., M.H., Angga Yusra Lesmana, S.H., M.H., CSL/CPLL., Advokat Pemilu RI Jakarta bersama Hasbullah, S.H. Pengacara dari Tanjung Selor Bulungan, Kaltara menyebut, caleg dari Partai Golkar Daerah Pemilihan Tarakan Tengah, Tarakan ini diduga memberikan keterangan di lembar Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang dikeluarkan Polres Tarakan tidak menyebut status hukum dirinya pernah dipidana.

Dikatakan, Terlapor EH dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa ijin. Sesuai Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Terlapor dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 milyar.

“Terlapor EH telah divonis berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, Nomor 207/Pid.B/2019/PN Smr. 23 Mei 2019. Majlis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa EH dengan pidana penjara selama 2 bulan 15 hari dan pidana denda Rp 10 Juta yang apabila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 3 bulan,” ujar Abdullah kuasa hukum Pelapor.

Dalam SKCK yang dilampirkan Terlapor EH sebagai persyaratan administrasi Bakal Calon Legislatif, menyatakan EH tidak memiliki catatan atau keterlibatan dalam kegiatan kriminal yang ancaman pidananya 15 tahun penjara. Dengan demikian, kata Abdullah, Caleg dari Partai Golkar yang meraup 2.336 suara di Dapil Tarakan Tengah Kota Tarakan ini telah melakukan pelanggaran pidana Pemilu.

“Kita berharap laporan yang kami sampaikan kepada Bawaslu Kota Tarakan dan seluruh instansi terkait dapat menindaklanjuti laporan tersebut sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku. Jika dalam persyaratan administrasi saja sudah berani berbohong, bagaimana nantinya setelah duduk dikursi legislative. Kita tidak mau orang yang tidak jujur mewakili masyarakat,” kata Hasbullah dalam sidang Pemeriksaan Administratif Pemilihan Umum Tahun 2024 di Kantor Bawaslu Tarakan, Kalimantan Utara, Jumat (8/3/24) lalu.

Sementara itu Terlapor EH melalui kuasanya Donny Tri Istiqomah, SH. MH bersama Nanang Hermawan, SH dari Law Firm DNLAW Jakarta menolak laporan Ardiansyah Mayo, SE. Menurutnya, dugaan pelanggaran administratif Pemilu Nomor 002/LP/ADM.PL/BWSL.KOTA/24.01/II/2024 bahwa terlapor EH tidak memenuhi syarat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tarakan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Samarinda tidak dapat dijadikan alasan.

Makanya, pelapor melalui kuasa hukumnya bersikukuh bahwa Terlapor EH tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur di Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta telah diubah penafsirannya secara konstitusional bersyarat oleh Putusan MK No 87/PUU-XX/2022 yaitu adanya keharusan masa tunggu 5 (lima) tahun, sementara terlapor EH baru menjalani masa tunggu 4 tahun 6 bulan.

Pihak Terlapor sendiri sebagaimana diungkapkan Penasehat Hukumnya, tidak sependapat dengan penggunaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK} tersebut.

Menurut Donny Tri Istiqomah, status dan kedudukan terlapor EH sebagai calon anggota DPRD Kota Tarakan telah disahkan secara hukum, sesuai Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tarakan No 83 Tahun 2023 tentang Daftar Calon Tetap Anggota DPRD Kota Tarakan dalam Pemilu tahun 2024.

“Apabila Pelapor menghendaki Terlapor EH dibatalkan status dan kedudukan sebagai calon anggota DPRD, maka satu-satunya cara yang sah secara hukum mengajukan upaya hukum merubah daftar calon tetap (DCT), yang berarti harus merubah keputusan KPU Kota Tarakan dimaksud,” kata Donny menjawab laporan Ardiansyah dalam Sidang Bawaslu yang dipimpin Riswanto, didampingi anggotanya Jhonson dan Andi Saifullah, Jumat (10/3/24) lalu.

Di sela jedah, Sidang Pemeriksaan Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum Tahun 2024 yang berlangsung hingga jauh malam, Kuasa Hukum Terlapor mengatakan, kasus ini merupakan bagian dari fenomena “Pembegalan Kursi” di setiap Pemilu maupun Pilkada yang mulai marak sejak tahun 2009.

“Fenomena ini biasa terjadi dan dilakukan oleh calon-calon yang kalah yang terus berupaya bagaimana caranya agar calon terpilih dapat didiskualifikasi dengan cara mencari celah dan kelemahan hukumnya, sehingga bisa digantikan oleh dirinya. Langkah pembegalan kursi ini sebenarnya tidak ada kaitannya dengan kepentingan penegakan dan keadilan hukum, melainkan semata-mata murni kepentingan politikan sih,” katanya.

Selain itu, kuasa Terlapor menilai putusan hakim PN Samarinda memberikan pidana penjara selama 2,5 bulan karena majelis hakim yang mengadili perkara tersebut menganggapnya sebagai hal yang lazim, karena menjadi bagian dari karakter ekonomi wilayah perbatasan.

Disamping itu, skala penjualan barang produk Malaysia yang dilakukan terlapor EH sangat kecil, sehingga divonis layaknya orang yang melakukan tindak pidana ringan dengan masa hukuman rata-rata dibawah tiga bulan kurungan, walaupun ancaman hukumannya maksimal 15 tahun.

Agaknya, Penasehat Hukum Terlapor EH sangat yakin bahwa putusan pidana kurungan 2,5 bulan yang pernah dijatuhkan kepada Terlapor tidak menjadi penghalang untuk menjadi anggota DPRD Kota Tarakan.

Sementara itu, Ketua Bawaslu Tarakan, Riswanto mengakui, sidang sempat berjalan alot. Namun yakin dalam menyusun putusan pihaknya tetap berlandaskan aturan yang ada seperti Undang-undang Pemilu, Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu serta bukti-bukti yang disampaikan dalam persidangan.
Agenda pembacaan putusan belum dapat ditentukan, namun diperkirakan bisa lebih cepat dari waktu yang diberikan aturan 14 hari kerja.

“Insyaallah, paling lambat tanggal 19 Maret mendatang sudah putus,” ujarnya. (Kontributor: SL. Pohan)

BACA JUGA :  Sidang Perdata Penyerobotan Tanah Milik Nawawi Masuk Tahap Kesimpulan