SALAMBA: TNTN Kini Mendesak Dan Penting Untuk Dilakukan Pelestarian Menjaga Keanekaragaman Hayati

0
42
Ket foto: Ir Marganda Simamora SH M.Si, dari Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA).

Saatnya melirik hutan Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau yang terus tergerus bahkan sudah jadi bisnis komuniti kebun kelapa sawit.

Riau, Infoindependen.com – Kabupaten Pelalawan tak pernah menjadi ibu kota paru-paru dunia dan kenyataannya pun hutan-hutan daerah itu tak lagi seperkasa dulu. Dampaknya, bencana alam pun menghantui hingga saat ini.

Taman Nasonal Tesso Nilo (TNTN) yang dahulunya sempat terlihat hutan belantara menjadi kekayaan alam tak ternilai bagi Pelalawan, Provinsi Riau. Kini mendesak dan penting untuk dilakukan pelestarian menjaga keanekaragaman hayati berkelanjutan.

Eksploitasi selama ini membuat hutan dan daya dukung lingkungan terdegradasi. Hutan rapuh menanti sentuhan pemimpin yang peduli,” kata Ir Marganda Simamora SH M.Si, dari Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA).

Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) menyoroti tentang pentingnya pelestarian TNTN, tetapi sudah ratusan miliar rupiah mengucur dan lenyap untuk memperbaiki hutan yang terus tergerus ini, malah rehablitasi hutan lindung itu pun gagal.

SALAMBA mengajak pemerintah, masyarakat dan swasta untuk menjaga keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. “Konservasi TNTN untuk keanekaragaman hayati dan hewan gagal”.

“Keberlanjutan hutan TNTN yang merupakan aset dan perlu dijaga kelesatariannya sepertinya sangat penting dilakukan,” kata Ir Marganda Simamora SH M.Si dengan sapaan akrabnya Ganda Mora, Sabtu (20/4/2024).

“Kolaborasi dan sinergiritas bersama, mungkin merupakan kunci utama dalam mengelola serta menjaga hutan agar tetap lestari dan terlindungi ini”.

Tetapi menurutnya, peruntukan TNTN awalnya sekitar 81.000 Hektar (Ha) yang sudah dicanangkan untuk areal lindung menjaga dan keberlangsungan keaneka ragaman hayati dan hewan dengan konsep konservatif demi keseimbangan ekologi dan tata kelola air, tetap saja luasannya terus berkurang.

Konservatif untuk TNTN ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi seperti pengawasan, pelestarian melalui program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sejak tahun 2019 -2023. Bahkan sudah mencapai ratusan miliar rupiah dikucurkan dengan harapan TNTN menjadi hutan kembali.

“Berdasarkan investigasi kami dilapangan progres tersebut dinilai gagal diakibatkan kurang melibatkan kelompok tani tempatan dan tidak adanya tim penilai melakukan pengawasan atau hanya sekedar proyek saja,” ungkapnya.

Upaya konservasi dinilai gagal sementara deforestasi semakin hari semakin meluas dengan upaya bisnis kelapa sawit dibeberapa desa seperti, Desa Toro Jaya, Kembang Bunga, Air Hitam, Bukit Kusuma dan Bagan Linau telah di penuhi perkebunan kelapa sawit, bahkan ribuan penduduk sudah menetap tinggal dan memilik Kartu Tanda Penduduk (KTP) setempat.

“Peran Ninik Mamak juga sangat sentral dalam upaya devorestasi TNTN, sebab melalui tokoh masyarakat yang memberikan surat hibah kepada masyarakat, bukan tempatan sudah terjadi secara massal, membuat dalam waktu singkat merubah hutan produksi menjadi perkebunan kelapa sawit,” sebutnya.

Ganda Mora menilai, ada indikasi pembiaran pemerintah melalui KLHK dimana Balai TNTN dinilai lalai dan melakukan pembiaran sebagai faktor utama rusaknya lingkungan yang menjadi rumah bagi aneka tumbuhan dan satwa liar di hutan itu.

“Mereka bergerak ketika perambahan sudah menjamur dan sukses melakukan alih fungsi cukup luas,” katanya.

Menurutnya, akibat kurangnya penegakan hukum secara perdata maupun pidana mengakibatkan tidak ada efek jera dan terus menerus melakukan perluasan usaha kebun kelapa sawit ditonton dan diketahui oleh pemangku kepentingan.

Upaya hukum sering mengalami kendala sebab pihak APH sasaranya adalah memidanakan pekerja bukan pemodal sehingga tali rantai perambahan hutan terus berjalan”. “SALAMBA akan melakukan upaya hukum baik perdata maupun pidana dalam menyikapi ini,” paparnya.

“Dalam waktu dekat kami akan menggugat pihak pemilik kebun sawit 50 ha keatas untuk melakukan legal standing di Pengadilan Negeri [PN] Pelalawan,” ungkapnya.

“Ini juga memaksa kami segera melaporkan secara pidana atas adanya pelanggaran UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan pelanggaran terhadap UU No 41 tentang kehutanan,” tegas Ganda Mora.

Beban berat ditanggung tntn cukup serius. Tampaknya tak habis-habisnya berbagai persoalan yang mendera kelestarian Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) ini.

Kepala Balai TNTN, Heru Sutmantoro mengungkap, amuk massa berkaitan dengan tim yang menangkap sembilan perambah hutan di kawasan TNTN, satu setengah bulan sebelumnya dimana sekelompok pemilik lahan sawit ilegal di kawasan TNTN, mendatangi Kantor Seksi Pengelola Wilayah (SPW) 1 Balai TNTN di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kabupaten Pelalawan pada Selasa, 27 September 2022 lalu.

“Hutan ini kan mestinya kita jaga dan rawat. Kami sudah maksimal mencegah terjadi perambahan,” terangnya mengulang peristiwa terjadi pada awak media, Minggu (31/3/2024) lalu.

Heru mengatakan, sembilan orang itu telah dilepaskan karena mereka memperlihatkan surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan Kepala Desa Air Hitam, Kecamatan Ukui, Pelalawan, Riau. “Mereka rakyat kecil yang tertipu,” katanya.

Heru menegaskan, dia bersama tim bakal mengusut penerbitan surat tersebut.

“Kepala Desa Air Hitam mengaku sudah menerbitkan 1.500 SKT dalam kawasan TNTN. Satu SKT, luasnya sekitar 2 hektar,” katanya.

“Ini menyalahi aturan, makanya saya bersurat ke Kepala Desa tersebut untuk menghentikan dan mencabut SKT yang ada,” jelasnya.

Ancaman perusakan terhadap TNTN terus terjadi. Seperti yag terjadi pada Sabtu 13 Mei 2020 lalu, Tim Patroli Karhutla Kodim Kampar dan Polhut menemukan aktivitas Ilegal Logging di TNTN Provinsi Riau.

“Tim Gabungan Patroli Karhutla menemukan aktivitas perambahan hutan di Tesso Nilo. Kayu yang dirambah jenis kayu Kulim,” kata Babinsa Koramil 04 Pangkalan Kuras Kodim 0313/KPR, Serka Samsul, dalam keterangannya kepada wartawan

Samsul menjelaskan, tim gabungan ini awalnya melakukan patroli rutin dalam pencegahan Karhutla. Namun, ketika masuk ke TNTN, ditemukan ada jejak perambahan hutan.

Lokasi perambahan di sektor Langcang Kuning, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan,” kata Samsul.

Dijelaskannya, tumpukan kayu alam yang dirambah ditemukan. Penemuan ini juga bersama Masyarakat Peduli Api (MPA).

“Di lokasi ditemukan hasil perambahan bahan setengah jadi. Para pelaku diperkirakan sudah melarikan diri saat tim gabungan menemukan jejak perambahan,” kata Samsul.

Setelah menemukan barang bukti, sambung Samsul, tim langsung melakukan pemusnahan. “Barang bukti yang telah diolah ada 20 meter kubik kita musnahkan dengan cara kayu dicincang agar tidak bisa dipergunakan,” sebutnya.

TNTN yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan melalui perubahan fungsi hutan produksi terbatas seluas 83.068 hektar.

BACA JUGA :  Ganggu Upaya Pemerintah Tangani COVID-19, Kabareskrim Minta Jajarannya Tindak Tegas Hoax

Penetapan dilakukan dua tahapan, berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.255/Menhut-II/2004 tanggal 19 Juli 2004 seluas 38.576 ha.

Berikutnya, berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009 seluas 44.492 hektar.

Andi Kusumo, Pengendali Ekosistem Muda Balai Taman Nasional Tesso Nilo menerangkan, perambahan masih terjadi di taman nasional ini.

“Hutan alam tersisa sekitar 13 ribu hektar. Sementara, 68 ribu mengalami deforertasi dengan rincian bukaan sawit 40 ribu hektar dan sisanya 28 ribu hektar berupa semak belukar, kawasan terbuka, dan permukiman,” terang Andi Kusumo.

Andi mengatakan, pemerintah terus berupaya menjaga TNTN dari kerusakan. Ini berdasarkan SK Nomor SK. 72/Menlhk/Setjen/HPL.0/2/2018 tanggal 7 Februari 2022 tentang Implementasi Pengelolaan Ekosistem Tesso Nilo dengan pendekatan berbasis masyarakat.

Penyelesaian konflik dilakukan dengan fokus pengelolaan TNTN. Balai Taman Nasional Tesso Nilo juga menerbitkan larangan menanam sawit dalam kawasan tanaman nasional melalui Surat Edaran Kepala Balai TNTN Nomor: SE.006/T.29/TU/Tks/1/2022.

“Larangan berlaku bagi perorangan, kelompok, koperasi, maupun perusahaan,” jelasnya.

Tetapi Heru Sutmantoro kembali menyebutkan, terkait surat edaran itu, tujuannya memberikan pengetahuan dan imbauan kepada masyarakat tentang larangan menanam sawit dan aktivitas lain yang dapat merusak kawasan hutan TNTN. Dasar pembuatan surat adalah:

Pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

Kedua, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999.

Ketiga, UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Keempat, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Kelima, Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

“Untuk sawit di kawasan TNTN akan dilakukan penanganan sesuai peraturan yang berlaku,” katanya.

Dikatakan Heru, sejak terbitnya surat tersebut sudah beberapa kali upaya penegakan hukum dilakukan, berkolaborasi dengan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum KLHK Sumatera Wilayah II Pekanbaru dan Kepolisian Resor Pelalawan, untuk memberi efek jera.

Surat edaran merupakan ketegasan Balai TNTN dalam pengendalian sawit di  kawasan taman nasional. Juga warning bagi mereka yang tetap menanam, karena dapat dilakukan tindakan hukum,” katanya.

Sementara Ganda Mora mengakui, bukan tidak ada yang ditertibkan Aparat Hukum terhadap berbagai peristiwa yang menimpa TNTN disana.

Penegakan hukum yang juga telah dilakukan pada 2022 lalu adalah, 1 tesangka perambahan inisial N ditangkap pada Maret 2022 dengan barang bukti alat berat.

April, 1 tersangka perambahan inisal J diamankan. Agustus, 3 tersangka perambahan ditangkap dengan abrang bukti chainsaw. September, 2 pembakar hutan dalam proses penyidikan.

Selain tindakan hukum, upaya penyelesaian konflik juga dapat dilakukan dengan mengembalikan fungsi hutan Taman Nasional Tesso Nilo, yang juga merupakan habitatnya satwa liar.

“Upaya pemulihan dan pengembalian habitat satwa dilindungi harus dilakukan, agar keseimbangan ekosistem kembali berfungsi,” kata Ganda Mora menyarankan.

Ia pun lantas mengulas soal TNTN ini, dimana berdasarkan analisis peta yang ada, ada sekitar 355 hektar tutupan hutan di Tesso Nilo hilang sepanjang 2020.

Analisis dengan data Nusantara Atlas memperlihatkan, ada peringatan GLAD di Tesso Nilo pada 2021.

Peringatan GLAD (Global Land Analysis Discovery-Alert) adalah alat pantau berupa citra satelit yang dikembangkan University of Maryland dan Google untuk mengetahui perubahan tutupan hutan di suatu kawasan dalam skala paling terkecil dan waktu relatif singkat.

“Data ini menunjukkan sekitar 700 hektar peringatan GLAD selama 2021 di hutan Tesso Nilo,” terangnya.

Taman Nasional Tesso Nilo merupakan kawasan hutan hujan tropika daratan rendah di Pulau Sumatera. Berdasarkan data World Wide Fund for Nature (WWF) 2019, di sini terdapat sekitar 360 jenis flora, 1.107 jenis burung, 50 jenis ikan, 23 jenis mamalia, 18 jenis amfibi, 15 jenis reptil, 3 jenis primata, dan juga habitatnya harimau dan gajah sumatera.

Flora yang tumbuh juga beragam, ada 360 jenis yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku. Tanaman pohon ada 215 jenis dan tanaman anak pohon sebanyak 305 jenis.

Ical, warga Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau mengatakan, pernah ikut menjadi anggota tim survei populasi satwa liar di TNTN, mulai 2008 hingga 2013.

“Kami mendapati jejak hewan liar. Ada tim yang memasang-memasang kamera pemantau, setelah tiga bulan dilihat hasil rekamannya,” terangnya.

Jalur yang dilalui adalah Kampung Bukit, Desa Kesumah lalu keluar di Kuansing, Banthin Mekar. Saat itu yang tampak hanya hutan belantara. “Terakhir, saya ikut survei gajah tahun 2013 untuk menentukan populasi,” jelasnya.

Ia mengatakan, terganggunya habitat gajah sangat terihat di kawasan TNTN. Ini dikarenakan aktivitas penguasaan dan penebangan hutan yang terus terjadi, dan juga konversi hutan alam untuk perkebunan skala besar. Sehingga, batas-batas penggunaan ruang antara manusia dengan gajah menjadi sulit dipisahkan.

“Hilangnya area berhutan menimbulkan konflik, selain masih adanya perburuan gajah untuk diambil gadingnya,” katanya.

Ia juga melihat bahkan sudah terjadi hilangnya potensi hutan. Kalau dulunya madu sialang yang merupakan hasil hutan TNTN mudah didapat yang bisa menghasilkan 70 ton madu alam dalam setahun.

Selain itu ada rotan, petai, dan tanaman obat seperti kayu manis, pasak bumi yang didapat langsung dari hutan. Berbagai jenis ikan seperti baung, patin, juga udang masih didapati di sungai.

“Namun, hilangnya pepohonan akibat perambahan dan alih fungsi lahan, terutama menjadi kebun kelapa sawit, menyebabkan semuanya hilang. Begitu juga dengan ikan yang semakin sulit didapat, karena lingkungan yang rusak,” paparnya.

Hari-hari suram mewarnai hidup Wizar (55) salah satu penduduk Desa Lubuk Kembang Bunga. Warga desa ini mengaku tak lagi bisa bekerja sesuai keahliannya sebagai pencari ikan disugai.

Alih-alih beristirahat di rumah, Wizar dan warga desa di tempatnya kini harus sibuk menyelamatkan rumah mereka dari banjir.

Sebelumnya, hidup Wizar selalu sibuk saat musim kemarau. Ia yang sehari-hari bekerja serabutan terkadang mencari madu di pohon Sialang.

Setahun lalu, awak media melihat betapa tenaga dan pengalamannya dibutuhkan sebagai kepala rumah tangganya.

BACA JUGA :  Pemerintah Tingkatkan Kapasitas Fasilitas Kesehatan Dan Pusat Karantina Pasien Covid-19

Apalagi saat bahan-bahan pangan kian naik, membuatnya mendadak mencari tambahan penghasilan yang selama ini ia kerjakan secara serabutan.

Di situlah Wizar berperan. Sayang, ia tak bisa melakukannya lagi karena alasan kesehatan. Belum usai didera masalah kesehatan, kini Wizar mengaku harus bekerja keras lagi menyelamatkan rumahnya dari dentuman banjir.

Rumah Wizar yang hanya berupa kayu diterjang banjir. Air awalnya berhenti di depan rumahnya, tapi itu hanya permulaan.

Pengakuan Wizar, banjir lebih besar dalam sebulan terakhir ini pun melanda Pelalawan. Setidaknya delapan desa di daerah itu terendam banjir. Ironisnya, ada beberapa wilayah belum pernah diterjang banjir sebelumnya kini ikut terimbas.

“Bencana banjir tak datang serta merta begitu saja. Tapi adanya kerusakan alam yang tidak seimbang dengan pemulihannya menjadi salah satu faktor pendorong,” kata Wizar menyelutuk kesal.

Kondisi TNTN memang tambah mengerikan, sepertinya Pemerintah harus bertanggung jawab, karena hutan sudah tergerus ladang sawit.

“Hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) kini semakin hari bertambah mengerikan, terus tergerus ladang sawit”

Kawasan konservasi gajah sumatra dan satwa liar dilindungi itu pun kian menyusut karena perambahan oleh orang tak bertanggung jawab,” kata Ganda Mora lagi.

Kepala Balai TNTN Heru Sutmantoro menjelaskan, tutupan hutan di TNTN terus berkurang karena keberadaan orang di sekitarnya (perambahan).

Pada tahun 2021 kerusakannya mencapai 69.043 hektare. “Hutan alam yang tersisa tinggal 13.750 hektare dari luasan TNTN 81.793 hektare”.

Dari jumlah perambahan itu, 40.460 hektare lebih telah berubah menjadi kebun sawit, baik oleh perorangan ataupun kelompok. Kondisi ini menimbulkan dampak ekologi berkelanjutan.

“Kebun itu telah menghilangkan keanekaragaman hayati, kualitas lahan terus menurun, erosi dan menimbulkan hama bagi tanaman lainnya,” kata Heru pada media belum lama ini.

Heru menyatakan, keberadaan kebun kelapa sawit di TNTN menjadi sumber konflik antara manusia dengan satwa liar, khususnya gajah. Sebab, sawit termasuk tanaman yang disukai gajah untuk dimakan.

“Kami sudah mengeluarkan surat edaran sekaligus peringatan agar tidak menanam sawit di kawasan TNTN,” jelas Heru.

Tetapi seperti disebutkan Ganda Mora, kawasan TNTN terus terjadi erosi, karena pembukaan lahan sawit mengancam perairan.

“Perambah menggunakan pupuk dan pestisida yang bisa saja terbawa air hujan ke aliran sungai sehingga Ph air turun,” kata dia.

Di sisi lain, perambah saat membuka lahan di TNTN menggunakan sistem babat habis yang menyebabkan mahluk hidup lainnya terganggu, sering juga terjadi pembakaran sehingga membuat satwa kehilangan habitat. “Kemudian menyebabkan polusi udara dan deforestasi,” jelasnya.

Menurutnya, kebun sawit di kawasan TNTN sudah 50 persen lebih terusik. Ganda menilai, penindakan terhadap kebun kelapa sawit di TNTN sudah bisa disesuaikan dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang melarang adanya perkebunan di kawasan hutan.

“Saya kira dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem bisa diterapkan,” sebutnya.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Ganda Mora juga kembali menjelaskan bahwa, TNTN ada berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.225/Menhut.II/2004. Awalnya luasan TNTN adalah 38.576 hektare yang terletak di Kabupaten Indragiri Hulu dan Pelalawan.

Selanjutnya, pada tahun 2009 ada SK baru yaitu SK.663/Menhut.II/2009 tentang Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kelompok Hutan Tesso Nilo seluas 44.492 hektare yang terletak di Kabupaten Pelalawan.

SK baru itu membuat total luas TNTN menjadi 83.068 hektare. Selanjutnya ada pada 28 Oktober 2014 ada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.6588/Menhut.VII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan TNTN menjadi 81.793 hektare.

Menurutnya, Pemerintah harus bertanggung jawab penuh atas carut marut pengelolaan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), karena secara hukum, kewenangan wilayah hutan di Riau itu berada dibawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Kalaupun di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo ada orang atau kelompok yang membakar dan merambah, itu masalah pelanggaran karena lemahnya pengawasan. Secara hukum, tanggung jawab atas kegagalan pengelolaan Tesso Nilo melekat pada KLHK,“ katanya.

Bentuk tanggung jawab KLHK terkait kebakaran taman nasional, secara hukum seharusnya sama dengan tanggung jawab korporasi yang konsesinya terbakar atau dirambah.

Pemerintah juga punya tanggung jawab hukum dalam menjaga konsesi. Kalau sampai hutan negara terbakar atau dirambah selama bertahun-tahun, ada yang tidak benar dalam penjagaannya.

Karena itu, kata Ganda Mora, pihak-pihak yang dirugikan seperti masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan Tesso Nilo dan terpapar asap atau tanahnya dirambah bisa menggugat pemerintah.

“Sangat mungkin, menggugat pemerintah secara perdata atau pidana. Kawasan taman nasional merupakan tanggungjawab pemerintah,” katanya.

Menurutnya, dalam konteks pengelolaan taman nasional, KLHK mempunyai program perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Program itu berasal dari pemerintah pusat yang pengelolaannya diserahkan pada Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo. Itu sangat jelas. Artinya, pengelolaan dan pengawasan TNTN tanggungjawab pemerintah.

Karena itu, sudah seharusnya, pemerintah hadir untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan disana. “Bukan sebaliknya malah ‘mengkambinghitamkan’ pihak lain,” kata Ganda.

Ganda Mora mengungkapkan, kegagalan pengelolaan Taman Nasional Tesso Nilo juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai kualitas, dan keahlian mitra kolaboratif pemerintah yakni kelompok-kelompok lingkungan seperti WWF, Eyes on Forest, Jikalahari dan lainnya.

Kehadiran LSM untuk membantu perbaikan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan pastinya atas persetujuan dan dibawah koordinasi pemerintah.

Tidak mungkin mereka bisa ada disana, tanpa restu pemerintah. Karena itu, keberadaan kelompok lingkungan dan LSM sosial perlu ditinjau kembali. Kehadiran mereka bertahun-tahun di TNTN tidak membuahkan hasil positif.

“Perlu ada evaluasi tugas dan kewenangan kelompok tersebut disana. Cari tau, apa saja yang mereka telah kerjakan untuk perbaikan lingkungan dan masyarakat serta hasilnya seperti apa. Kalau kinerja tidak memberi kontribusi apa-apa, buat apa mereka ada disana,” kata dia.

Menteri Kehutanan menunjuk Tesso Nilo Sebagai Taman Nasional melalui Surat Keputusan No. 255/Menhut-II/2004.

Perubahan fungsi kawasan hutan produksi Terbatas menjadi TNTN yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu Provinsi Riau mencakup luasan 38.576 ha.

Pada tanggal 15 Oktober 2009, Menteri Kehutanan Republik Indonesia kembali menerbitkan SK Nomor: SK.663/Menhut-II/2009 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan produksi terbatas kelompok hutan Tesso Nilo  seluas 44.492 ha yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Riau menjadi Taman Nasional Sebagai Perluasan TNTN.

BACA JUGA :  Akhyar Apresiasi Sinergitas DPRD & Pemko Medan

Saat itu, luas kawasan TNTN  menjadi sekitar 83.068 ha. “Sayangnya, luas TNTN terus berkurang akibat kebakaran hutan dan lahan serta perambahan dan pembalakan liar. Dari luas awal 83.068 ha diperkirakan kini yang tertinggal hanya 25.000 ha,” terangnya.

Dia turut prihatin melihat kondisi TNTN setelah pemerintah pusat bersama Lembaga Swadaya Masyarakat mengelola TNTN sejak Juli 2004 lalu itu.

“Kami melihat pemberitaan media belakangan ini mengenai kondisi TNTN sangat memprihatinkan,” katanya.

Menurutnya, kawasan TNTN memiliki banyak keistimewaan tetapi kondisinya semakin memprihatinkan. Terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku, 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, tiga jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia, dan 18 jenis amfibi di setiap hektar TNTN.

Tesso Nilo juga adalah salah satu sisa hutan dataran rendah yang menjadi tempat tinggal atau habitat asli dari gajah Sumatera (elephas maximus sumatranus) dan merupakan kawasan konservasi.

“Pemerintah, khususnya pemerintah daerah setempat memperhatikan kondisi TNTN,” ucapnya.

Berdasarkan analisis citra landsat pada tahun 2000, luas hutan di TNTN dan hutan produksi terbatas, yang kemudian dijadikan areal perluasan taman nasional itu masih mencapai 75.335 hektar. Namun, pada tahun 2012, luas hutan di taman nasional itu hanya tinggal 28.375 hektar.

Menurut Ganda Mora, selama ini, sebagian kawasan Tesso Nilo sudah menjadi kebun kelapa sawit. Sejak akhir 2017, SALAMBA melakukan penelusuran ke dalam Taman Nasional Tesso Nilo dengan memasuki desa-desa dan kebun kelapa sawit yang ada di dalam kawasan konservasi itu.

Di sana ada kebun kelapa sawit yang sudah panen, maupun baru tanam. Batang-batang tebangan kayu hutan masih terlihat di beberapa bagian.

Lebih miris lagi, di sana juga ada terpampang iklan jual lahan dengan mencantumkan nomer telepon yang bisa dihubungi kalau ada yang berminat membeli.

Aksi penggerusan hutan buat kelapa sawit tampaknya terus terjadi hingga pada 26 Januari 2022, Kepala Balai TNTN, Heru Sukmantoro sudah menerbitkan surat edaran soal larangan menanam sawit di kawasan konservasi itu.

Surat ditujukan kepada 15 Kepala Desa di sekitar kawasan dan 11 pimpinan adat serta tembusan ke Dirjen Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem, KLHK, Gubernur Riau, Polda Riau dan sejumlah instansi lain termasuk Bupati Pelalawan dan sejumlah Camat.

“Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, karena menyebabkan beberapa dampak ekologi bagi kawasan TNTN,” kata Ganda lagi.

Perambahan, katanya, terdampak pada kondisi hutan tersisa dan satwa endemik. Kebun sawit yang monokultur telah menghilangkan keanekaragaman hayati dan menurunkan kualitas lahan serta daya tahan alam.

Jadi kebanyakan pembukaan lahan kebun kelapa sawit dilingkungan itu dengan metode tebang habis yang menyebabkan kehidupan makhluk hidup di dalamnya terganggu.

Tesso Nilo adalah habitat penting bagi sejumlah satwa langka dilindungi seperti tapir, beruang madu termasuk spesies endemik Sumatera termasuk harimau dan gajah.

Deforestasi karena perambahan di Tesso Nilo meski menurut Yuliantony ada perlambatan, tetapi terus membuat ruang hidup gajah maupun satwa lain makin terdesak. Data terakhir Yayasan TNTN, diperkirakan ada 140-150 gajah terbagi dalam beberapa kelompok.

“Kita menemukan kelompok besar berjumlah 65-80 di HTI (hutan tanaman industri), kelompok 17, ada kelompok 30, ada gajah-gajah jantan, dan ada kelompok lima gajah. Perkiraan pesimisnya 130. Optimis 140-150,” kata Yuliantony.

Pada 2021, ada dua kematian gajah di TNTN. Dua gajah itu sempat diobati. Satu betina berusia 30 tahun kondisi badan kurus saat ditemukan. Ia terpisah dari kelompoknya. Setelah diberi obat, gajah dilepaskan. Dua hari setelah itu, tidak lagi terpantau.

Tim BKSDA dan Balai TNTN sempat mencari tim pencarian mendapat kabar gajah mati di kebun kelapa sawit.

Meski begitu, kata Yuliantony, mulai ada perubahan perspektif masyarakat di sekitar hutan atas keberadaan gajah. Sebelumnya, gajah dianggap hama dan faktor utama gangguan ladang dan perkebunan warga. Kini, setiap kemunculan gajah, masyarakat memilih menghubungi pihak terkait.

Kematian gajah, katanya, tidak lagi dilaporkan dalam kondisi teracuni. Namun, katanya, ini tak termasuk perburuan gajah dengan cara jerat untuk perdagangan ilegal.

“Ada penurunan kematian, 4 ekor pada 2020. Sebelum 2017, masyarakat masih menganggap satwa hama. Kalau dulu solusi dibunuh. Pemilik kebun memasang racun.

Sejak 2017, katanya, Yayasan TNTN dan pemerintah lakukan patroli menghilangkan racun dan penyadaran. “Ketika ada konflik masyarakat lapor (dan) kita respon cepat.

Akhir 2021, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menggelar rapat program Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) bersama Bupati Pelalawan, Wakil Gubernur Riau, Ketua DPRD dan jajaran forum pimpinan daerah.

Rapat di Balai TNTN itu juga dihadiri sejumlah organisasi di Riau. RETN bertujuan penyelamatan kawasan ekosistem baik ekologi maupun sosial ekonomi masyarakat.

”Pekerjaan RETN sudah disiapkan rencana sejak 2016, guna menjaga kawasan hutan tersisa dan menyelesaikan berbagai konflik serta dinamika yang menyertai,” kata Siti dalam situs KLHK.

KLHK katanya, telah melaksanakan pekerjaan tapak seperti pendatanaan, pendampingan, rehabilitasi, penegakan hukum, sampai penyelamatan satwa. Program RETN ini perlu dukungan dan keterlibatan banyak pihak.

”Kerja kolaborasi terus dilakukan. Sampai 2022, kerja RETN bisa mulai terlihat hasil. Semoga pada 2023 kemarin, masalah kompleks di Tesso Nilo bisa diselesaikan.

Dalam rilis itu, KLHK bersama kelompok masyarakat melakukan pemulihan lingkungan melalui program rehabilitasi hutan dan lahan di Tesso Nilo, mencapai 3.585 hektar.

Tetapi Ganda Mora berkesimpulan lebih setuju untuk melakukan rehabiitasi hutan TNTN itu tentu dilakukan secara bertahap dengan menanam jenis tanaman seperti merbau, suntai, balam, seminai, pulai dan kulim dan yang terpenting juga ada tanaman kehidupan seperti durian, jengkol, petai, nangka dan cempedak. “Program itu tentunya dilakukan melalui pola kerjasama kemitraan konservasi, bukan?”. (***)